Judul : Hujan
Penulis : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan kedua - Januari 2016
“Jangan pernah jatuh cinta saat hujan, Lail. Karena
ketika besok lusa kamu patah hati, setiap kali hujan turun, kamu akan
terkenang dengan kejadian menyakitkan itu. Masuk akal, bukan?" - Maryam,
halaman 200
|
Lail
selalu suka Hujan. Selalu. Sejak ia kecil. Namun, suatu kejadian pada 21 Mei
2042 membuatnya memiliki kenangan mengerikan tentang hujan. Usia Lail baru 13
tahun, kala bencana alam itu terjadi, letusan gunung purba yang mengakibatkan
perubahan yang sangat ekstrim bagi bumi, juga merupakan hari yang tak bisa
dilupakan bagi mereka yang selamat dari bencana itu. Juga bagi Lail, yang harus
menerima kenyataan bahwa ia kehilangan kedua orangtuanya hari itu juga, tepat
ketika hujan.
Lail selamat, berkat bantuan seseorang. Anak laki-laki berusia 15 tahun yang menarik tas punggungnya di tangga darurat, menyelamatkan dirinya yang sedang berusaha menolong sang ibu yang telah jatuh empat puluh menter di bawah sana beserta guguran-guguran tanah. Anak laki-laki yang kemudian diketahui Lail bernama Esok, tepatnya Soke Bahtera, yang kemudian menemani Lail melewati masa-masa sulit, yang kelak, menjadi laki-laki yang amat Lail sayangi. Namun, kebersamaan mereka itu tak berlangsung lama.
Satu tahun sejak bencana alam itu, keadaan kota menjadi lebih baik. Panti sosial didirikan untuk mereka yang tak punya tempat tujuan. Lail yang tak tahu harus ke mana, tidak punya pilihan lain selain ikut ke sana, namun tidak bagi Esok. Esok adalah anak yang cerdas, maka ada keluarga yang bersedia mengangkatnya menjadi anak asuh dan menyekolahkannya setinggi mungkin, juga merawat ibunya yang kehilangan kedua kakinya pada bencana mengerikan itu. Maka, sejak saat itu, Lail dan Esok sudah tak lagi ada di jalan yang sama, keduanya telah berada di jalan yang berbeda.
Lail selamat, berkat bantuan seseorang. Anak laki-laki berusia 15 tahun yang menarik tas punggungnya di tangga darurat, menyelamatkan dirinya yang sedang berusaha menolong sang ibu yang telah jatuh empat puluh menter di bawah sana beserta guguran-guguran tanah. Anak laki-laki yang kemudian diketahui Lail bernama Esok, tepatnya Soke Bahtera, yang kemudian menemani Lail melewati masa-masa sulit, yang kelak, menjadi laki-laki yang amat Lail sayangi. Namun, kebersamaan mereka itu tak berlangsung lama.
Satu tahun sejak bencana alam itu, keadaan kota menjadi lebih baik. Panti sosial didirikan untuk mereka yang tak punya tempat tujuan. Lail yang tak tahu harus ke mana, tidak punya pilihan lain selain ikut ke sana, namun tidak bagi Esok. Esok adalah anak yang cerdas, maka ada keluarga yang bersedia mengangkatnya menjadi anak asuh dan menyekolahkannya setinggi mungkin, juga merawat ibunya yang kehilangan kedua kakinya pada bencana mengerikan itu. Maka, sejak saat itu, Lail dan Esok sudah tak lagi ada di jalan yang sama, keduanya telah berada di jalan yang berbeda.
Beberapa
tahun setelahnya...
“Apa yang hendak kamu lupakan, Lail?” –
Elijah, Paramedis senior.
“Aku ingin melupakan hujan.” – Lail,
Pemegang Lisensi Kelas A Sistem Kesehatan, usia 21 tahun.
“Karena kenangan seperti hujan. Ketika dia datang, kita
tidak bisa menghentikannya. Bagaimana kita akan menghentikan tetes air yang
turun dari langit? Hanya bisa ditunggu, hingga selesai dengan
sendirinya.” - Hujan, halaman 201
Jujur, ini pertama kalinya saya baca novel karya Tere Liye. Sebelumnya saya hanya membaca kumpulan sajak beliau dalam Dikatakan atau Tidak Dikatakan, Itu Tetap Cinta, dan saya suka. Dan Hujan telah membuat saya memberikan kesan pertama yang baik untuk sebuah novel karya Tere Liye.
Selain berlatarkan bumi di masa depan dengan tekonologi yang lebih mutakhir dari sekarang, Hujan juga menghadirkan keadaan bumi di masa mendatang menjelang akhir dunia, mengingatkan saya dengan Dunia Anna karya Jostein Gaarder. Saya selalu takut bertemu buku-buku bertema semacam ini.
Hujan menghadirkan tokoh yang memang tidak terlalu unik. Esok, Lail, dan Maryam, memiliki karakter yang pas, tanpa terlalu dilebih-lebihkan. Esok dengan kecerdasannya, Lail dengan perasaannya, dan Maryam yang membuat saya menginginkan sosok sahabat seperti dirinya, yang ada saat saya butuh disadarkan ketika akan melakukan hal-hal bodoh. Namun sayangnya, Esok tidak meninggalkan kesan yang mendalam buatku, meskipun emosinya sangat terasa ketika mendekati ending.
Selama membaca buku ini, dengan sabar saya 'mendengarkan' cerita Lail, berdebar-debar ketika menebak apa yang terjadi setelahnya, apa yang terjadi sebenarnya. Kenapa Lail ingin melupakan Hujan? Tapi, akhirnya bisa sedikit bernafas lega saat tiba di lembaran terakhir. Saya meneteskan air mata di bagian-bagian tertentu, terlebih saat mendekati ending. Membayangkan berada di posisi Lail, merasa kehilangan, diabaikan, tidak tahu harus berbuat apa. Dan akhirnya Lail memutuskan pilihannya sendiri untuk mengurangi rasa sakit yang ia rasakan selama ini.
Dari Hujan, saya dapat belajar, bahwa melakukan tindakan terburu-buru tanpa berpikir jernih bukanlah jalan untuk menyelesaikan masalah, kesalahpahaman mungkin saja terjadi di dalamnya, dan itu bisa saja memperburuk keadaan. Hidup itu seperti tetesan hujan, yang selalu membawa kenangan, tak luput dari ingatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar