Judul : Daun Yang Jatuh Tak Pernah
Membenci Angin
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 264 halaman
Pengarang : Tere Liye
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 264 halaman
Dia bagai malaikat bagi keluarga
kami. Merengkuh aku, adikku, dan Ibu dari kehidupan jalanan yang miskin dan
nestapa. Memberikan makan, tempat berteduh, sekolah, dan janji masa depan yang
lebih baik.
Dia sungguh bagai malaikat bagi
keluarga kami. Memberikan kasih sayang, perhatian, dan teladan tanpa mengharap
budi sekalipun. Dan lihatlah, aku membalas itu semua dengan membiarkan mekar
perasaan ini.
Ibu benar, tak layak aku mencintai
malaikat keluarga kami. Tak pantas. Maafkan aku, Ibu. Perasaan kagum, terpesona,
atau entahlah itu muncul tak tertahankan. Bahkan sejak rambutku masih dikepang
dua.
Sekarang ketika aku tahu dia boleh
jadi tak pernah menganggapku lebih dari seorang adik yang tidak tahu diri,
biarlah... Biarlah aku luruh ke bumi seperti sehelai daun... daun yang tak
pernah membenci angin meski harus terenggutkan dari tangkai pohonnya.
Tania tak pernah berencana untuk
jatuh cinta dengan malaikat penolongnya. Dia tak pernah membayangkan akan
memiliki kehidupan yang baik, dia bahkan tak pernah bermimpi bahwa suatu saat
dia akan mampu menginjakkan kakinya bahkan bersekolah di Singapura, tapi
semuanya berubah sejak pertemuannya dengan malaikat itu. Oom Danar, itulah
panggilan yang dia dan adiknya berikan dulu, saat pertama kali mereka bertemu.
Saat dirinya hanyalah gadis kecil berkepang dua, yang kakinya tertusuk paku
payung saat mengamen di atas bus tanpa alas kaki. Seseorang itu telah sempurna
mengubah hidupnya.
Lalu apakah salah ketika
perlahan-lahan seiring berjalannya waktu mulai muncul perasaan aneh di dalam
hatinya? Dari timbulnya perasaan senang saat Danar memujinya sebagai gadis yang
cerdas, munculnya perasaan cemburu saat Kak Ratna -pacar Oom Danar- tiba-tiba
mengambil alih posisinya, perasaan rindu saat dia harus melanjutkan studinya di
Singapura. Bukankah wajar bagi seseorang untuk mengagumi orang yang telah
berjasa banyak dalam hidupnya? Apalagi jika kau mendapati orang tersebut
sebagai orang yang menyenangkan, memiliki senyum hangat yang menentramkan dan
tatapan teduh yang penuh dengan kasih sayang. Apa salah bagi Tania untuk jatuh
cinta kepada orang yang telah menemani, menguatkan, menghiburnya, disaat Ibunya
tiba-tiba meninggalkan mereka tepat disaat mereka berpikir bahwa kehidupan
mereka mulai membaik? Tania tak pernah meminta untuk dibuat jatuh cinta kepada
malaikatnya. Hal itu terjadi begitu saja. Apakah salah baginya untuk mencintai
seseorang?
Buncah melingkupi hati Tania saat
Oom Danar nya memberikan liontin dengan inisial T dengan ukiran bunga linden
sebagai kado ulang tahun ke-17 nya. Hal itu semakin memupuk harapan bahwa Oom
Danar juga memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Tapi semua khayalan itu
hancur berkeping-keping ketika tiba-tiba Kak Ratna mengumumkan rencana
pernikahannya dengan sang malaikat.
Daun yang jatuh tak pernah membenci
angin. Itu yang pernah diucapkan Danar dulu. Tapi ungkapan itu pula lah yang
membuatnya merasa sangat sedih ketika akhirnya dia memahami makna dari kalimat
tersebut. Dia ingin mengakui perasaannya kepada malaikat penolongnya. Tapi
disaat bersamaan, dia tak mau menghancurkan kehidupan orang baik itu. Dia hanya
bisa mencoba berdamai dengan dirinya sendiri. Meskipun hal itu sedikit banyak
merubah dirinya, merubah sifat dan tabiatnya. Mengubahnya menjadi Tania yang
tidak menyenangkan.
Lalu, apa yang harus dirasakan Tania
ketika satu persatu potongan teka-teki itu terkuak? Apa yang harus dilakukannya
saat dia akhirnya mengetahui rahasia besar yang telah lama disimpan malaikat
penolongnya? Rahasia yang keberadaannya telah banyak menyakiti orang-orang yang
terlibat di dalamnya? Apa yang harus dilakukannya terhadap sang malaikatnya?
Gaya penulisannya. . kalo saya
pribadi sih sebenernya emang lebih suka novel yang bahasanya kayak gini.
Apalagi disini kita seperti diposisikan sebagai Tania yang sedang mem-flashback
memori masa lalunya sama Oom malaikat. And, the present Tania tell us
all those story only in an hour and 17 minutes. Hmmm. .. keren banget kan?
Saya bisa banget ngebayangin toko buku yang diceritain disini. Feel-nya
nyampe banget lah sama pembaca. Tapi entah kenapa, saya butuh waktu sebulan
lebih buat nyelesein baca novel yang satu ini. Dan setelah kelar baca, saya
baru sadar. Novel ini kan ceritanya sedih banget yak? Dan otak saya gak terlalu
suka memproses segala sesuatu yang menyedihkan. Jadi, pas baca kemaren tiap
baru baca dikit trus kira-kira lanjutannya sedih, udahan. Gak kuat broooh.
Menata hati dulu, baru dilanjutin. Terlalu menguras emosi. Bikin review gini
aja keriput di dahi saya udah nambah beberapa garis.
Daun yang jatuh tak pernah membenci
angin. Dia membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Tak melawan. Mengikhlaskan
semuanya.
Kalo kata Oom Danar sih gitu. Dan
setelah saya pikir-pikir, kita hidup memang seperti selembar daun. Daun yang
menempel pada sebatang ranting, atau cabang pohon. Ketika angin bertiup
sekencang apapun, daun tidak akan jatuh ketika memang belum saatnya dia untuk
jatuh. Namun ketika sang daun memang sudah seharusnya jatuh, bisikan lembut
angin pun mampu membuatnya jatuh. Lalu, apa yang harus diperbuat daun? Tidak
ada. Dia hanya bisa membiarkan dirinya jatuh begitu saja. Gak mungkin kan daun
pergi ke toko alat tulis, beli lem, merangkak ke atas pohon dan meminta dirinya
untuk ditempel lagi di dahannya?
Sama seperti kita. Dalam hidup terkadang
kita menemui takdir "kurang menyenangkan", yang memang tidak bisa
kita ubah. Dan hal yang bisa kita lakukan hanyalah ikhlas dan menjalani apa
yang memang sudah digariskan untuk kita. What can we do anyway? Bukan
meminta kita untuk sepenuhnya pasrah sama apapun yang terjadi di hidup kita
sih. Tapi, ketika kita sudah melakukan segala usaha yang kita bisa dan ternyata
hasilnya tak berubah? Mau gimana lagi? Mau protes sama Allah? Enggak kan?
Ikhlas. Meskipun terkadang susah..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar